Sekarang:

… dan kemarin, dan esok…

Sebetulnya apa yang aku takutkan dari perkawinan?

Aku tak tahu apakah takut atau enggan. Aku terus bertanya pada diriku sendiri. Alangkah sulitnya untuk jujur.

Finansial?
Rasaku cukup asal tak bermewah diri. Dalam masa awal hedonistikku aku malah sudah punya lebih dari satu asuransi hari tua. Terima kasihku untuk nyokap yang ajari aku siapkan hari tua sejak aku muda.

Anak?
Aku tak ingin punya tapi aku menyayangi anak-anak, dari keponakan sampai beberapa anak asuh yang diurus lembaga.

Hilangnya kebebasan?
Ah bukankah mayoritas para bejat pemburu lonte itu adalah lelaki beristri? Bukankah mayoritas bangsat pemburu wanita lajang untuk selingkuh adalah para bapak yang beranak? Perkawinan tidak menjadi belenggu untuk nakal mereka, lengkap dengan segala resikonya.

Selfish, introvert, solitair?
Mungkin itu. Kupilih apartemen sementara rumah kukontrakkan karena di dunia kecil dalam bangunan mirip rumah merpati ini aku bisa bersembunyi, tak semua orang bebas datangi aku. Tempat untuk sosialisasi adalah resto & cafe. Dan terlebih lagi untuk bersama keluarga adalah rumah nyokap di kawasan yang banyak pohon peneduh itu. Selebihnya hari-hariku adalah salah satu kotak rumah merpati yang dinamai serviced apartment.

5 Komentar»

  Sayap KU wrote @

Jadi kesimpulannya takut kenapa sih mas?

  w\h\e\w wrote @

ketakutan ..akan semakin mnghantui bila terlalu dip ikir..

nyante lah hidup ini hanya sebuah perjalanan
just ikuti rute yg ada..

:p

  gudida wrote @

Taut…….. mendingan lo beli buku ” Lies at the altar” ada terjemahan indonesia juga, baru lo tau dan pasti hilang rasa takut itu…..

  Ar-man wrote @

Bukan soal punya anak..Tapi punya keturunan,penerus sejarah.

  JakeWells wrote @

Kata kakak saya, menikah itu enak loh. Lebih tenang hidupnya. 😀


Tinggalkan komentar